by : Unknown
Assalamualaikum
Kepada pembaca yang terhormat, saya ingin mencoba menuliskan sebuah tulisan yang berasal dari kisah saya sendiri yang belum lama terjadi. Dan semoga apa yang telah saya tuliskan ini dapat di ambil ibrah/pelajaranya untuk kita semua. Dan saya berharap cerita ini berisi dangan kabaikan.
*******
Berasal dari kerinduanku untuk bersilaturahmi dengan teman lamaku satu pesantren di Bogor, yang pada semester lalu ia di keluarkan karena banyaknya nilainya yang jelek di bawah standar yang telah di tentukan pihak yayasan.
Sudah lama keinginan ini ku pendam dalam dada. Setiap kali aku pulang ke rumahku di depok, ada saja alasan dan penghalangnya untuk dapat berziaroh ke kediaman temanku.
Assalamualaikum
Kepada pembaca yang terhormat, saya ingin mencoba menuliskan sebuah tulisan yang berasal dari kisah saya sendiri yang belum lama terjadi. Dan semoga apa yang telah saya tuliskan ini dapat di ambil ibrah/pelajaranya untuk kita semua. Dan saya berharap cerita ini berisi dangan kabaikan.
*******
Berasal dari kerinduanku untuk bersilaturahmi dengan teman lamaku satu pesantren di Bogor, yang pada semester lalu ia di keluarkan karena banyaknya nilainya yang jelek di bawah standar yang telah di tentukan pihak yayasan.
Sudah lama keinginan ini ku pendam dalam dada. Setiap kali aku pulang ke rumahku di depok, ada saja alasan dan penghalangnya untuk dapat berziaroh ke kediaman temanku.
Posted on :
Jumat, 13 Februari 2009
[1] comments Label:
JR
Kapanlagi.com - East Japan Railway Co. mengatakan Selasa, pihaknya akan melarang merokok di atas jalur kereta peluru Tohoku dan Joetsu Shinkansen dan kereta ekspres terbatas mulai musim semi mendatang.
"Kami telah menerima keluhan tentang asap rokok yang berasal dari gerbong untuk merokok, dan kami tidak mampu untuk memisahkan kompartemen sama sekali bagi perokok dan bukan perokok," Presiden JR East Satoshi Seino mengatakan dalam sebuah konperensi pers. "Para perokok juga adalah pelanggan penting kami, tetapi kami ingin mereka menahan diri dari merokok selama tiga hingga empat jam selagi berada di atas kereta."
Keputusan tersebut mendapat tentangan dari Japan Tobacco Inc. Larangan itu "sangat disesalkan dan akan menimbulkan beban bagi para perokok," perusahaan tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan.
JT juga mengatakan pihaknya akan mendesak JR East agar mendapatkan ruang merokok dalam kereta. Dengan larangan merokok yang segera berlaku, JR East memutuskan akan membuka ruang merokok di 14 stasiun, termasuk Hachinohe, Akita, Yamagata dan Nagaoka yang menjadikan total sekitar 21 stasiun dengan ruang merokoknya.
Sejumlah kereta akan terus memiliki kereta merokok karena penumpang terutama berada di kompartemen tertutup, JR East mengatakan. Merokok telah dilarang di dalam kereta jarak jauh lain termasuk jalur kereta peluru Nagano, dan Kyushu Shinkansen, kereta ekspres Narita Express dan semua kereta milik Hokkaido Railway Co.
Sementara itu, Bungaku Watanabe, pemimpin Pusat Informasi Masalah Tembakau, sebuah organisasi nir laba mempromosikan kampanye tidak merokok, mengatakan keputusan terakhir JR East diterima meskipun hal itu seharusnya sudah dilakukan dulu. Operator taksi dan restoran harus mengikuti juga, ia menambahkan. (*/erl)
"Kami telah menerima keluhan tentang asap rokok yang berasal dari gerbong untuk merokok, dan kami tidak mampu untuk memisahkan kompartemen sama sekali bagi perokok dan bukan perokok," Presiden JR East Satoshi Seino mengatakan dalam sebuah konperensi pers. "Para perokok juga adalah pelanggan penting kami, tetapi kami ingin mereka menahan diri dari merokok selama tiga hingga empat jam selagi berada di atas kereta."
Keputusan tersebut mendapat tentangan dari Japan Tobacco Inc. Larangan itu "sangat disesalkan dan akan menimbulkan beban bagi para perokok," perusahaan tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan.
JT juga mengatakan pihaknya akan mendesak JR East agar mendapatkan ruang merokok dalam kereta. Dengan larangan merokok yang segera berlaku, JR East memutuskan akan membuka ruang merokok di 14 stasiun, termasuk Hachinohe, Akita, Yamagata dan Nagaoka yang menjadikan total sekitar 21 stasiun dengan ruang merokoknya.
Sejumlah kereta akan terus memiliki kereta merokok karena penumpang terutama berada di kompartemen tertutup, JR East mengatakan. Merokok telah dilarang di dalam kereta jarak jauh lain termasuk jalur kereta peluru Nagano, dan Kyushu Shinkansen, kereta ekspres Narita Express dan semua kereta milik Hokkaido Railway Co.
Sementara itu, Bungaku Watanabe, pemimpin Pusat Informasi Masalah Tembakau, sebuah organisasi nir laba mempromosikan kampanye tidak merokok, mengatakan keputusan terakhir JR East diterima meskipun hal itu seharusnya sudah dilakukan dulu. Operator taksi dan restoran harus mengikuti juga, ia menambahkan. (*/erl)
Posted on :
Kamis, 12 Februari 2009
[0] comments Label:
pisau dalam diri
Sesudah sholat shubuh itu kami minum kopi, dengan goreng pisang dan ketan. Waktu yang sangat kurindukan selama ini. Terlihat mereka sudah tua, tetapi mereka sangat bahagia pagi ini. Kemudian, seperti dulu, Bapak dan Mak, bercerita.
“Bagitulah Mak, aku di rantau.”
“Tetapi mengapa cucuku tidak Waang bawa pulang.”
“Mereka belum libur Mak, karena itu aku ingin Mak dan Bapak tinggal bersama kami.”
“Kami ingin mengahabiskan hari tua kami di sini, rasanya badan ini tidak kuat lagi untuk berpergian, “ kata Bapak.
Mereka selalu menolak, untuk kubawa ke rantau. Aku sudah kehabisan akal untuk membujuknya. Padahal, di kampung ini tidak ada yang dapat diharapkan lagi. Semua harta pusaka sudah terjual, mereka tinggal pun di rumah sewaan. Bapak mengisi hari-harinya dengan menjual rokok di simpang jalan. Adapun untuk biaya hidup dan sewa rumah, aku kirim dari rantau tiap bulan. Aku pikir mereka lebih baik bersama kami, namun mereka selalu menolak.
“Kami mencintai negeri ini, karena itu kami ingin menghabiskan masa tua kami di sini,” selalu begitu yang diucapkan Mak. Ngilu rasanya kalimat seperti itu di telingaku. Aku tidak mengerti, bagaimana mencintai negeri yang sudah jadi kota ini, dengan tanah dan harta pusaka sudah terjual semua. Kalaupun akan mati nanti tentu akan dikuburkankan di tanah yang juga akan disewa dari tahun ke tahun, jika tidak, kuburan itu akan dihilangkan.
Mengenang tentang tanah, harta pusaka, membuat keindahan sesudah shubuh ini menjadi buyar. Semua kejadian masa lalu hadir di depan mata kembali. Jelas, bagaimana air mataku menetes jatuh ke mata pisau yang sedang aku asa. Pisau sakin itu mengkilat. Rasa sakit hatiku, rasanya menyatu dengan besi mengkilat itu.
“Jangan Waang tumpahkan pula darah, aku mohon,” kata Mak.
“Aku dipermalunya didepan orang ramai Mak….”
“Waang akan masuk penjara, aku mohon, jangan, biarlah Tuhan membalasnya.”
“Semua harta pusaka sudah dijualnya, sekarang tapak rumah mau dijualnya… apakah kita akan masih diam Mak!”
Mak terdiam.
Tiba-tiba tanganku dipegang erat oleh Bapak, dan pisau itu dirampasnya. Kakiku disapunya, dan aku terguling.
“Ini pisauku, Waang tidak berhak mempergunakannya.”
Bapak duduk di sudut dapur dan menyimpan pisau itu ke dalam saku bajunya.
Besok paginya, setelah minum pagi, aku memutuskan.
“Akan pergi Waang?”
“Ya Pak, ke mana muka ini akan dihadapkan, kemana akan berdiri, kemana akan duduk, kalau aku masih di negeri ini.”
“Aku tidak punya apa-apa untuk kuberikan sebagai bekal…..kecuali ini.’
Lama aku menatap apa yang diberikannya kepadaku.
“Ambillah, sekarang jadi hakmu…hanya sebuah simbol tentang harga diri.”
Aku ambil pisau itu dari tangannya, dan dua lagi, pena dan jam tangan.
“Waang tahu apa arti ketiga benda itu?”
“Tidak”
“Jangan lihat zahirnya, ini hanya simbol, lihat batinnya, pertama harga diri tetapi hati-hati dengan pisau dalam dirimu sediri, kedua pengetahuan, ketiga waktu. Pergunakanlah pada setiap langkah Waang di alam takambang ini, karena pada intinya ketiganya adalah pisau yang siap akan menikam diri sendiri, jika Waang tak hati-hati”.
Kutinggalkan negeri itu, terasa seperti Huesca, puisi John Confort, kenangan padanya derita padaku. Berhari-hari, berbulan, bertahun-tahun. Seandainya Mak dan Bapak tidak di negeri ini, barangkali sudah tidak terjejak lagi tanah ini oleh kakiku.
***
“Di mana Mamak Baha itu sekarang?”
“Sejak keluar dari penjara, dia tinggal di surau dagang, tapi kata orang kadang-kadang dia tidur di emperan toko dan di kolong jembatan.”
“Anak-anaknya di mana?”
“Mereka tidak mau tahu.”
“Itulah kataku dulu, Tuhan sudah membalasnya.”
Bapak lebih banyak diam, dan tersenyum tipis ketika aku keluarkan pisau yang diberikannya dulu.
“Pisau perbuatan kita sendiri sesungguhnya jauh lebih tajam dari pisau sesungguhnya”, kata Bapak menatap pisau itu.
Kuletakan pisau itu di atas meja.
“Kau silau-lah dia, barangkali dapat meringankan batinnya.”
Perlahan aku menggelengkan kepala, dan meraih sebatang rokok. Kubakar, kuhisap dalam-dalam, mataku menembus kaca jendela. Menembus masa lalu.
Dulu laki-laki itu begitu gagah. Waktu kecil aku bangga, aku memanggilnya Mamak Baha. Sewaktu aku di sekolah lanjutan atas, baru aku tahu siapa dia. Orang yang berkuasa di nagari ini, bertangan besi, kaya. Hanya sayang dia tidak peduli dengan pendidikan anak-anaknya dan kamanakannya.
“Sudah cukuplah sekolah, jangan tinggi-tinggi, hanya jadi sarok balai (sampah), lebih baik ijazah Waang pergunakan jadi pegawai, jadi pedagang.”
Dia buat rumah seperti istana gedung putih, anak-anaknya berpoya-poya, plesiran atau melancong. Satu yang tidak dapat aku terima, yang membuat aku marah, dia menjual tanah-tanah ulayat, harta pusaka, kepada konglomerat-konglomerat dari negeri seberang, dia berpidato dengan bangga, “…kita datangkan investor-investor”. Sekarang ibuku tidak mempunyai satu pun harta pusaka itu lagi.
Negeri ini memang sudah maju dan modern, sudah menjadi bagian dari kota, kalau dulu hanya pinggir kota. Hotel berbintang, swalayan besar, pusat grosir terbesar, rumah sakit mewah, tempat-tempat hiburan, perkebunan, pabrik-pabrik, begitu membanggakan, memang. Hanya sayang bukan milik rakyat, tetapi milik sekelompok para konglomeret dari negeri seberang sudah terkenal sangat ganas kapitalisnya. Sementera rakyat disuruhnya berzikir, dinina bobokannya dengan membangun mesjid agung yang biayanya milyaran, anak-anak sekolah perempuan diwajibkannya berjilbab, para ulama, ustad, garin diberinya gaji supaya terhimpit lidahnya. Rakyat nagari pun memuja-mujanya dengan fanatik.
Matahari berputar, hari berganti, bulan bertukar, tahun berlalu. Zaman berubah, dunia berputar, seperti roda pedati, Mamak Baha diadili dengan tuduhan korupsi, hartanya di sita. Dia terjebak oleh perbuatannya sendiri. Semua harta satu demi satu habis terjual, sedangkan badan di penjara. Sebaliknya sekarang anak-anaknya yang menjadi sarok balai. Adapun Mak Malay tetangga sebelah yang lebih mementingkan pendidikan anak-anak dulu, sekarang hidup bahagia, karena anak-anaknya jadi orang. Dulu Mak Malay habis dicemoohkannya, termasuk aku, kamanakannya.
***
Besoknya, waktu selesai minum kopi pagi, tiba-tiba televisi lokal memberitakan, ditemukan mayat laki-laki tua bergelimang kotoran dekat tong sampah. Laki-laki itu adalah Mamak Baha. Diperkirakan sudah lama mati. Aku matikan televisi itu. Biar para aktivis sosial mengurusnya, kemudian aku pamit kembali ke rantau, menyalami Mak dan Bapak, juga kepada Selly, pegawai yang kugaji untuk menjaga orangtuaku. Di depan rumah aku panggil taksi, menuju bandara. Terasa masih terngiang penggelan puisi John Conford, Huesca, ingatan padamu, derita padaku. ***
“Bagitulah Mak, aku di rantau.”
“Tetapi mengapa cucuku tidak Waang bawa pulang.”
“Mereka belum libur Mak, karena itu aku ingin Mak dan Bapak tinggal bersama kami.”
“Kami ingin mengahabiskan hari tua kami di sini, rasanya badan ini tidak kuat lagi untuk berpergian, “ kata Bapak.
Mereka selalu menolak, untuk kubawa ke rantau. Aku sudah kehabisan akal untuk membujuknya. Padahal, di kampung ini tidak ada yang dapat diharapkan lagi. Semua harta pusaka sudah terjual, mereka tinggal pun di rumah sewaan. Bapak mengisi hari-harinya dengan menjual rokok di simpang jalan. Adapun untuk biaya hidup dan sewa rumah, aku kirim dari rantau tiap bulan. Aku pikir mereka lebih baik bersama kami, namun mereka selalu menolak.
“Kami mencintai negeri ini, karena itu kami ingin menghabiskan masa tua kami di sini,” selalu begitu yang diucapkan Mak. Ngilu rasanya kalimat seperti itu di telingaku. Aku tidak mengerti, bagaimana mencintai negeri yang sudah jadi kota ini, dengan tanah dan harta pusaka sudah terjual semua. Kalaupun akan mati nanti tentu akan dikuburkankan di tanah yang juga akan disewa dari tahun ke tahun, jika tidak, kuburan itu akan dihilangkan.
Mengenang tentang tanah, harta pusaka, membuat keindahan sesudah shubuh ini menjadi buyar. Semua kejadian masa lalu hadir di depan mata kembali. Jelas, bagaimana air mataku menetes jatuh ke mata pisau yang sedang aku asa. Pisau sakin itu mengkilat. Rasa sakit hatiku, rasanya menyatu dengan besi mengkilat itu.
“Jangan Waang tumpahkan pula darah, aku mohon,” kata Mak.
“Aku dipermalunya didepan orang ramai Mak….”
“Waang akan masuk penjara, aku mohon, jangan, biarlah Tuhan membalasnya.”
“Semua harta pusaka sudah dijualnya, sekarang tapak rumah mau dijualnya… apakah kita akan masih diam Mak!”
Mak terdiam.
Tiba-tiba tanganku dipegang erat oleh Bapak, dan pisau itu dirampasnya. Kakiku disapunya, dan aku terguling.
“Ini pisauku, Waang tidak berhak mempergunakannya.”
Bapak duduk di sudut dapur dan menyimpan pisau itu ke dalam saku bajunya.
Besok paginya, setelah minum pagi, aku memutuskan.
“Akan pergi Waang?”
“Ya Pak, ke mana muka ini akan dihadapkan, kemana akan berdiri, kemana akan duduk, kalau aku masih di negeri ini.”
“Aku tidak punya apa-apa untuk kuberikan sebagai bekal…..kecuali ini.’
Lama aku menatap apa yang diberikannya kepadaku.
“Ambillah, sekarang jadi hakmu…hanya sebuah simbol tentang harga diri.”
Aku ambil pisau itu dari tangannya, dan dua lagi, pena dan jam tangan.
“Waang tahu apa arti ketiga benda itu?”
“Tidak”
“Jangan lihat zahirnya, ini hanya simbol, lihat batinnya, pertama harga diri tetapi hati-hati dengan pisau dalam dirimu sediri, kedua pengetahuan, ketiga waktu. Pergunakanlah pada setiap langkah Waang di alam takambang ini, karena pada intinya ketiganya adalah pisau yang siap akan menikam diri sendiri, jika Waang tak hati-hati”.
Kutinggalkan negeri itu, terasa seperti Huesca, puisi John Confort, kenangan padanya derita padaku. Berhari-hari, berbulan, bertahun-tahun. Seandainya Mak dan Bapak tidak di negeri ini, barangkali sudah tidak terjejak lagi tanah ini oleh kakiku.
***
“Di mana Mamak Baha itu sekarang?”
“Sejak keluar dari penjara, dia tinggal di surau dagang, tapi kata orang kadang-kadang dia tidur di emperan toko dan di kolong jembatan.”
“Anak-anaknya di mana?”
“Mereka tidak mau tahu.”
“Itulah kataku dulu, Tuhan sudah membalasnya.”
Bapak lebih banyak diam, dan tersenyum tipis ketika aku keluarkan pisau yang diberikannya dulu.
“Pisau perbuatan kita sendiri sesungguhnya jauh lebih tajam dari pisau sesungguhnya”, kata Bapak menatap pisau itu.
Kuletakan pisau itu di atas meja.
“Kau silau-lah dia, barangkali dapat meringankan batinnya.”
Perlahan aku menggelengkan kepala, dan meraih sebatang rokok. Kubakar, kuhisap dalam-dalam, mataku menembus kaca jendela. Menembus masa lalu.
Dulu laki-laki itu begitu gagah. Waktu kecil aku bangga, aku memanggilnya Mamak Baha. Sewaktu aku di sekolah lanjutan atas, baru aku tahu siapa dia. Orang yang berkuasa di nagari ini, bertangan besi, kaya. Hanya sayang dia tidak peduli dengan pendidikan anak-anaknya dan kamanakannya.
“Sudah cukuplah sekolah, jangan tinggi-tinggi, hanya jadi sarok balai (sampah), lebih baik ijazah Waang pergunakan jadi pegawai, jadi pedagang.”
Dia buat rumah seperti istana gedung putih, anak-anaknya berpoya-poya, plesiran atau melancong. Satu yang tidak dapat aku terima, yang membuat aku marah, dia menjual tanah-tanah ulayat, harta pusaka, kepada konglomerat-konglomerat dari negeri seberang, dia berpidato dengan bangga, “…kita datangkan investor-investor”. Sekarang ibuku tidak mempunyai satu pun harta pusaka itu lagi.
Negeri ini memang sudah maju dan modern, sudah menjadi bagian dari kota, kalau dulu hanya pinggir kota. Hotel berbintang, swalayan besar, pusat grosir terbesar, rumah sakit mewah, tempat-tempat hiburan, perkebunan, pabrik-pabrik, begitu membanggakan, memang. Hanya sayang bukan milik rakyat, tetapi milik sekelompok para konglomeret dari negeri seberang sudah terkenal sangat ganas kapitalisnya. Sementera rakyat disuruhnya berzikir, dinina bobokannya dengan membangun mesjid agung yang biayanya milyaran, anak-anak sekolah perempuan diwajibkannya berjilbab, para ulama, ustad, garin diberinya gaji supaya terhimpit lidahnya. Rakyat nagari pun memuja-mujanya dengan fanatik.
Matahari berputar, hari berganti, bulan bertukar, tahun berlalu. Zaman berubah, dunia berputar, seperti roda pedati, Mamak Baha diadili dengan tuduhan korupsi, hartanya di sita. Dia terjebak oleh perbuatannya sendiri. Semua harta satu demi satu habis terjual, sedangkan badan di penjara. Sebaliknya sekarang anak-anaknya yang menjadi sarok balai. Adapun Mak Malay tetangga sebelah yang lebih mementingkan pendidikan anak-anak dulu, sekarang hidup bahagia, karena anak-anaknya jadi orang. Dulu Mak Malay habis dicemoohkannya, termasuk aku, kamanakannya.
***
Besoknya, waktu selesai minum kopi pagi, tiba-tiba televisi lokal memberitakan, ditemukan mayat laki-laki tua bergelimang kotoran dekat tong sampah. Laki-laki itu adalah Mamak Baha. Diperkirakan sudah lama mati. Aku matikan televisi itu. Biar para aktivis sosial mengurusnya, kemudian aku pamit kembali ke rantau, menyalami Mak dan Bapak, juga kepada Selly, pegawai yang kugaji untuk menjaga orangtuaku. Di depan rumah aku panggil taksi, menuju bandara. Terasa masih terngiang penggelan puisi John Conford, Huesca, ingatan padamu, derita padaku. ***
Posted on :
[0] comments Label:
Kehendak untuk “Memilih”
Dari Siti Nurbaya, Sabai Nan Aluih, Dara Jingga, Pada Kehendak untuk “Memilih”
Ditulis pada Desember 29, 2007 oleh Fadlillah Malin Sutan Kayo
Oleh Fadlillah Malin Sutan Kayo
03-fadlillah.jpgPada karya sastra, bukan hanya catatan sejarah dan sosiokultural, ditemukan jejak yang memungkinkan orang untuk menemukan pengertian tentang dirinya sebagai manusia. Ilmu sosial atau sejarah hanya sanggup menulis tentang perang dan peristiwa sebuah ekspedisi membawa dua orang putri untuk dipersembahkan kepada rajanya, atau seorang raja mengirim dua orang putri untuk dipersembah kepada seorang raja yang lain tanda persahabatan, sebagai sebuah misal, maka sejarah dan ilmu sosial tidak akan menulis tentang kesedihan dan persoalan kehilangan harga diri sebagai eksistensi, atau persoalan yang tersembunyi dari kepalsuan politik militer. Bagian inilah yang membedakannya karya sastra dengan tulisan sejarah atau antropolog, sastra lebih mempersoalkan hakekat kemanusiaan.
Sejarah, sosiologi, antropologi meletakan realitas pada posisi “dipilih”, yakni; jadi obyek, bukan “memilih”, jadi subyek. Adapun yang membedakan dengan sastra adalah kerena sastra meletakan realitas sebagai subyek, “memilih”. Ada hal asasi dari kehendak untuk memilih dari manusia yang dipertimbangkan, sedangkan sejarah, sosiologi, antropologi tidak akan melakukan itu, mereka dunia adalah dunia obyektif yang dingin. Mungkin inilah menyebabkan sastra lebih banyak meletakan realitas pada metafora.
Siti Nurbaya sebagai metafor, sama dengan Sabai Nan Aluih dan Dara Jingga, ketika akan “memilih” menerima atau tidak lamaran Datuk Maringgih. Siti Nurbaya mau berkorban untuk keselamatan ayahnya supaya jangan sampai sang ayah masuk penjara, maka “dia memilih” untuk menerima lamaran Datuk Maringgih. Bukan tidak mungkin posisi Dara Jingga “memilih” untuk berangkat demi menyelamatkan kerajaan Dharmasraya dari amuk dan pembunuhan biadab pasukan Majapahit, tetapi perempuan atau anak buah raja apakah punya hak untuk “memilih”, sebagaimana Siti Nurbaya masih punya hak untuk “memilih”.
Sesungguhnya, ia masih punya, inilah yang dipertimbangkan dalam sastra, karena jati diri, pada sisi yang sederhana, adalah pada kemampuan berkata “tidak” atau “ya”. Ketika “memilih” berkata “tidak” maka ia akan menembusnya dengan nyawa, satria. Sedangkan kata “ya”, ia menembusnya dengan kepengecutan sepanjang hayat dikandung badan. Sepertinya komikal, memang, katakanlah komik Jepang, yang mengandung filsafat Zen.
(- Tulisan ini pernah dimuat di Singgalang, Minggu 30 Desember 2007, Hal. 11. Jika anda ingin memiliki artikel ini silahkan tulis mail kepada sdr. Fadlillah Malin Sutan Kayo; e-mail: fadlilah@gmail.com)
Ditulis pada Desember 29, 2007 oleh Fadlillah Malin Sutan Kayo
Oleh Fadlillah Malin Sutan Kayo
03-fadlillah.jpgPada karya sastra, bukan hanya catatan sejarah dan sosiokultural, ditemukan jejak yang memungkinkan orang untuk menemukan pengertian tentang dirinya sebagai manusia. Ilmu sosial atau sejarah hanya sanggup menulis tentang perang dan peristiwa sebuah ekspedisi membawa dua orang putri untuk dipersembahkan kepada rajanya, atau seorang raja mengirim dua orang putri untuk dipersembah kepada seorang raja yang lain tanda persahabatan, sebagai sebuah misal, maka sejarah dan ilmu sosial tidak akan menulis tentang kesedihan dan persoalan kehilangan harga diri sebagai eksistensi, atau persoalan yang tersembunyi dari kepalsuan politik militer. Bagian inilah yang membedakannya karya sastra dengan tulisan sejarah atau antropolog, sastra lebih mempersoalkan hakekat kemanusiaan.
Sejarah, sosiologi, antropologi meletakan realitas pada posisi “dipilih”, yakni; jadi obyek, bukan “memilih”, jadi subyek. Adapun yang membedakan dengan sastra adalah kerena sastra meletakan realitas sebagai subyek, “memilih”. Ada hal asasi dari kehendak untuk memilih dari manusia yang dipertimbangkan, sedangkan sejarah, sosiologi, antropologi tidak akan melakukan itu, mereka dunia adalah dunia obyektif yang dingin. Mungkin inilah menyebabkan sastra lebih banyak meletakan realitas pada metafora.
Siti Nurbaya sebagai metafor, sama dengan Sabai Nan Aluih dan Dara Jingga, ketika akan “memilih” menerima atau tidak lamaran Datuk Maringgih. Siti Nurbaya mau berkorban untuk keselamatan ayahnya supaya jangan sampai sang ayah masuk penjara, maka “dia memilih” untuk menerima lamaran Datuk Maringgih. Bukan tidak mungkin posisi Dara Jingga “memilih” untuk berangkat demi menyelamatkan kerajaan Dharmasraya dari amuk dan pembunuhan biadab pasukan Majapahit, tetapi perempuan atau anak buah raja apakah punya hak untuk “memilih”, sebagaimana Siti Nurbaya masih punya hak untuk “memilih”.
Sesungguhnya, ia masih punya, inilah yang dipertimbangkan dalam sastra, karena jati diri, pada sisi yang sederhana, adalah pada kemampuan berkata “tidak” atau “ya”. Ketika “memilih” berkata “tidak” maka ia akan menembusnya dengan nyawa, satria. Sedangkan kata “ya”, ia menembusnya dengan kepengecutan sepanjang hayat dikandung badan. Sepertinya komikal, memang, katakanlah komik Jepang, yang mengandung filsafat Zen.
(- Tulisan ini pernah dimuat di Singgalang, Minggu 30 Desember 2007, Hal. 11. Jika anda ingin memiliki artikel ini silahkan tulis mail kepada sdr. Fadlillah Malin Sutan Kayo; e-mail: fadlilah@gmail.com)
Posted on :
[0] comments Label:
क्रिटिक sastra
“Human Trafficking” dalam Kaba “Bongsu Pinang Sibaribuik”
Oleh Fadlillah Malin Sutan Kayo
Kaba “Bongsu Pinang Sibaribuik” sebuah karya prosa atau novel Minangkabau yang cukup monumental, ditulis oleh Emral Djamal Dt. Rajo Mudo. Agaknya akan dapat dibaca sebagai sebuah tafsir terhadap sosial politik dan budaya Minangkabau hari ini. Ia tidak hanya dapat dibaca sebagai sebuah karya seni tentang masa lalu semata, namun kehadirannya, pada dekade ini, mungkin sebuah pertanda revitalisasi (sastra) bangsa Minangkabau.
Banyak pengamat yang memperkirakan bahwa sastra Minang nyaris punah, sejalan dengan (perlahan) memudarnya kebanggaan pemakaian bahasa Minangkabau. Barangkali tidak dapat dibenarkan sepenuhnya, bahwa sastra Minang akan hilang, karena selagi masih ada orang Minang maka sastra Minang tetap ada. Hal itu disebabkan pencipta dan penikmat karya sastra Minang yang pertama adalah orang Minang.
Sebegitu jauh, katakanlah, seandainya bangsa Minang sudah punah, maka diperkirakan sastra Minang akan tetap ada, karena apa? karena ia ditulis. Kaba lisan yang ditulis kembali oleh Emral Djamal Dt. Rajo Mudo tersebut, adalah sebuah perkerjaan besar, pekerjaan sejarah, karena ia mengabadikan karya sastra Minangkabau, dan akan dibaca orang disepanjang zaman.
Perbudakan sebuah tema yang luar biasa.
Kaba ini menjawab sebuah pertanyan besar; apakah ada perbudakan di Minangkabau dan tercatat dalam karya sastra, sebagaimana yang dipertanyakan Dr. Anatona (dalam disertasinya) tentang perbudakan di Pulau Sumatera dan Malaka. Adapun tentang perbudakan ini nyaris terkubur dan hilang. Di Minangkabau, lebih dikenal dengan istilah “kemanakan di bawah lutuik”.
Menurut Dr.Anatona, sebelum penjajahan Belanda jalur perdagangan budak sudah ada di Padang, pulau Nias, Aceh, Sumatera Timur, dan Malaka. Nampak jalur ini sudah klasik, dan bandar Malaka merupakan pusat perdagangan manusia sampai dunia melarang (Abraham Lincoln, 1/1/1863) perdagangan manusia. Akan tetapi dalam makna yang luas perdagangan manusia masih berlangsung sampai hari ini.
Sebagaimana yang ditulis oleh media massa (Kompas, 16/9/02:16) bahwa pemulangan tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal dari Malayasia, membuka mata banyak orang bahwa hal ini tidak lain adalah sebuah perdagangan manusia (human trafficking). TKI adalah seolah pelegalan perdagangan manusia secara hukum. Indonesia masuk dalam peringkat terburuk oleh masyarakat dunia dalam penanganan perdagangan manusia.
Sebagaimana ditulis Singgalang (27/8/07:1), Martini, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Medan, Sumatra Utara, dianiaya majikannya di Hongkong. Kabar buruk itu selalu ada, jika tidak dari Malaysia, tentu dari Timur Tengah dan Hongkong. Kasus terakhir yang menunggu hukum mati di Arab Saudi. Barangkali sebagian kita hanya melihat devisa yang dihasilkan TKI (2006) Rp 80 triliun saja.
Adapun PBB tahun 2000 telah menghadirkan Convention against Transnational Organized Crime yang dilengkapi dengan UN Protocol to Prevent, Supress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children. 105 negara sudah meratifikasi Protokol PBB tersebut.
Nampaknya, perbudakan berhubungan dengan politik kekuasaan dan sistem pemerintahan. Kemudian sistem pemerintahan yang feodalistik, raja-raja, kerajaan, agaknya cendrung merperlakukan manusia sebagai budak, yang lebih dikenal dengan pola “hamba dan tuanku”.
Kembali kepada kaba Bongsu Pinang Sibaribuik, agaknya adalah karya sastra besar (master pieces) Minangkabau, di samping kaba Cindua Mato, karena tema yang di usung adalah sebuah tema yang tak kalah pentingnya, dan rasanya novel Indonesia yang mengangkat tema perbudakan agak jarang. Hal ini mengingatkan kita dengan Alejo Carpentier seorang novelis Havana, Kuba, yang menulis novel Negeri Kaum Budak.
(- Tulisan ini pernah dimuat di Singgalang, Minggu 03-02-2008, Hal. 11, dengan judul “Bongsu Pinang Sibaribuik dan Bangsa Bermentalitas Budak”. Jika anda ingin memiliki artikel ini silahkan tulis mail kepada sdr. Fadlillah Malin Sutan Kayo; e-mail: fadlilah@gmail.com)
Oleh Fadlillah Malin Sutan Kayo
Kaba “Bongsu Pinang Sibaribuik” sebuah karya prosa atau novel Minangkabau yang cukup monumental, ditulis oleh Emral Djamal Dt. Rajo Mudo. Agaknya akan dapat dibaca sebagai sebuah tafsir terhadap sosial politik dan budaya Minangkabau hari ini. Ia tidak hanya dapat dibaca sebagai sebuah karya seni tentang masa lalu semata, namun kehadirannya, pada dekade ini, mungkin sebuah pertanda revitalisasi (sastra) bangsa Minangkabau.
Banyak pengamat yang memperkirakan bahwa sastra Minang nyaris punah, sejalan dengan (perlahan) memudarnya kebanggaan pemakaian bahasa Minangkabau. Barangkali tidak dapat dibenarkan sepenuhnya, bahwa sastra Minang akan hilang, karena selagi masih ada orang Minang maka sastra Minang tetap ada. Hal itu disebabkan pencipta dan penikmat karya sastra Minang yang pertama adalah orang Minang.
Sebegitu jauh, katakanlah, seandainya bangsa Minang sudah punah, maka diperkirakan sastra Minang akan tetap ada, karena apa? karena ia ditulis. Kaba lisan yang ditulis kembali oleh Emral Djamal Dt. Rajo Mudo tersebut, adalah sebuah perkerjaan besar, pekerjaan sejarah, karena ia mengabadikan karya sastra Minangkabau, dan akan dibaca orang disepanjang zaman.
Perbudakan sebuah tema yang luar biasa.
Kaba ini menjawab sebuah pertanyan besar; apakah ada perbudakan di Minangkabau dan tercatat dalam karya sastra, sebagaimana yang dipertanyakan Dr. Anatona (dalam disertasinya) tentang perbudakan di Pulau Sumatera dan Malaka. Adapun tentang perbudakan ini nyaris terkubur dan hilang. Di Minangkabau, lebih dikenal dengan istilah “kemanakan di bawah lutuik”.
Menurut Dr.Anatona, sebelum penjajahan Belanda jalur perdagangan budak sudah ada di Padang, pulau Nias, Aceh, Sumatera Timur, dan Malaka. Nampak jalur ini sudah klasik, dan bandar Malaka merupakan pusat perdagangan manusia sampai dunia melarang (Abraham Lincoln, 1/1/1863) perdagangan manusia. Akan tetapi dalam makna yang luas perdagangan manusia masih berlangsung sampai hari ini.
Sebagaimana yang ditulis oleh media massa (Kompas, 16/9/02:16) bahwa pemulangan tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal dari Malayasia, membuka mata banyak orang bahwa hal ini tidak lain adalah sebuah perdagangan manusia (human trafficking). TKI adalah seolah pelegalan perdagangan manusia secara hukum. Indonesia masuk dalam peringkat terburuk oleh masyarakat dunia dalam penanganan perdagangan manusia.
Sebagaimana ditulis Singgalang (27/8/07:1), Martini, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Medan, Sumatra Utara, dianiaya majikannya di Hongkong. Kabar buruk itu selalu ada, jika tidak dari Malaysia, tentu dari Timur Tengah dan Hongkong. Kasus terakhir yang menunggu hukum mati di Arab Saudi. Barangkali sebagian kita hanya melihat devisa yang dihasilkan TKI (2006) Rp 80 triliun saja.
Adapun PBB tahun 2000 telah menghadirkan Convention against Transnational Organized Crime yang dilengkapi dengan UN Protocol to Prevent, Supress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children. 105 negara sudah meratifikasi Protokol PBB tersebut.
Nampaknya, perbudakan berhubungan dengan politik kekuasaan dan sistem pemerintahan. Kemudian sistem pemerintahan yang feodalistik, raja-raja, kerajaan, agaknya cendrung merperlakukan manusia sebagai budak, yang lebih dikenal dengan pola “hamba dan tuanku”.
Kembali kepada kaba Bongsu Pinang Sibaribuik, agaknya adalah karya sastra besar (master pieces) Minangkabau, di samping kaba Cindua Mato, karena tema yang di usung adalah sebuah tema yang tak kalah pentingnya, dan rasanya novel Indonesia yang mengangkat tema perbudakan agak jarang. Hal ini mengingatkan kita dengan Alejo Carpentier seorang novelis Havana, Kuba, yang menulis novel Negeri Kaum Budak.
(- Tulisan ini pernah dimuat di Singgalang, Minggu 03-02-2008, Hal. 11, dengan judul “Bongsu Pinang Sibaribuik dan Bangsa Bermentalitas Budak”. Jika anda ingin memiliki artikel ini silahkan tulis mail kepada sdr. Fadlillah Malin Sutan Kayo; e-mail: fadlilah@gmail.com)
Posted on :
[0] comments Label:
sastra
Sastra dan Bahasa : Kritik Sastra
Selasa, 10-Juni-2008 - oleh : Nensi Suherman
Dibaca 2673 kali
Menurut Andre Harjana kata kritik baru di gunakan pada saat Hb Yasin meluncurkan bukunya kesastraan indonesia dalam kritik dan essei, disitu kata kritik mulai kokoh di gunakan dan pengertiannya pun mulai kokoh, tetapi bagaimana dengan perkembangannya, apakah dengan kokohnya pengertian dan istilah kritik itu kemudian perkembangan kritik sastra itu menjadi kokoh kalau kita baca tulisan-tulisan di media masa, makalah, keluhan-keluhan yang muncul di seminar-seminar, simposium dan sebagainya, kita masih melihat bahwa perkembangan kritik sastra indonesia itu memprihatinkan, karna derasnya karya sastra yang ada tidak disertai dengan kritik sastra yang memadai, indikasi dari ketidakmemadai ini yaitu pertama kritikus, sastra secara kuantitas terhitung mimin, yang kedua para kritikus yang menulis kritik sastra itu tidak mendalami bidangnya secara sungguh-sungguh, ketiga dilihat dari isi kritik sastra yang kurang ilmiah, lontaran-lontaran berupa kritik sastra yang objektif, intuitis, pesan-pesan, lebih banyak menceritakan isi karya sastra tanpa ulasan-ulasan yang harusnya menjadi faktor utama.
Ketika masalah kritik sastra ini muncul sebetulnya yang diharapkan adalah peran akademik sastra tetapi ternyata sampai saat ini banyak keluhan bahwa akademik sastra tidak berperan dalam perkembangan kritik sastra, betulkah peran akademik sastra sudah mati? Kritik sastra akademik adalah kritik sastra yang di tulis dengan pola-pola tertentu biasanya mengacu pada tehnik penulisan ilmiah kemudian dasarkan diri pada teori dan metode yang harus di pertanggung jawabkan, contohnya adalah puisi, tesis, makalah, artikel jurnal dan sebagainya.
Kritik sastra akademik sering di konfrontasikan dengan kritik sastra non akademik atau biasa di sebut juga kritik sastra umum yang bersifat sebaliknya atau tidak didasarkan kepada rambu-rambu penulisan yang di tehnik penulisan ilmiah, kemudian teori dan metodenya bersifat intuisif, bentuk-bentuknya seperti artikel, resensi dan lain sebagainya, dasar penulisnya biasanya bukan dari kalangan akademesi, meskipun banyak kalangan akademisi yang menulis kritik sastra jenis ini, jika di lihat ternyata akademik kritik sastra itu belum pasti yang artinya akademik kritik sastra itu masih banyak di tulis, di berbagai perguruan tinggi di Indonesia banyak skripsi yang bermunculan tiap tahunnya, masalahnya dari sekian banyak kritik sastra yang di tulis banyak pihak menyatakan kritik sastra akademik mandul, mati dan tidak berperan, hingga memunculkan persoalan mengenai peran sastra akademik tersebut. Jika dilihat persoalannya bukan berasal dari banyak atau sedikitnya karnya sastra di tulis, tetapi kritik sastra akademik itu kurang terasakan di masyarakat luas, karna yang pertama kritik sastra akademik itu di tulis sebagai bahan formalitas, ketika itu di tulis sebagai formalitas, kesungguhan di dalam penulisan untuk melakukan suatu penemuan yang berguna bagi perkembangan sastra berkurang, hingga kontribusinya ikut berkurang. Ke dua kritik sastra akademik terlalu mengedepankan format, menganggap materi sebagai harga mati, hingga pengunggkapan terhadap kebulatan karya sastra itu berkurang. Ke tiga dalam penyajiannya mengggunakan bahasa baku atau ragam bahasa ilmiah, sehingga kritik sastra itu menjadi kaku, tertutup hingga sulit di terima masyarakat. Ke empat kritik sastra akademik cenderung berada di lingkarannya saja, artinya kurang terpublikasikan secara luas hingga kontribusinya menjadi kurang.
Jika kita melihat sejarah sastra, kita bisa menemukan bahwa kontribusi paling besar dari kritik sastra yang muncul berasal dari media masa, mungkin ada semacam keengganan dari kalangan akademisi untuk membuat kritik-kritik di media masa, atau juga berasal dari ketidak mampuan, sehingga muncul dua penyebab yaitu ketidakmauan dan ketidakmampuan, pertama jika terjadi karena keengganan di sebabkan munculnya anggapan bahwa kritik sastra yang ada di media masa itu tidak ilmiah sementara kritik sastra akademik itu ilmiah, kritik sastra akademik itu formatnya harus di susun dengan aturan yang berlaku dalam penulisan kritik sastra di akademik, keilmiahan sebuah kritik sastra itu tidak tergantung pada format tetapi pada hakikat, selama ini yang di lihat ilmiah adalah jika format penulisannya sudah mengacu pada tehnik penulisan ilmiah, dan jika didasarkan pada teori dan metode tertentu. Padahal semua itu tidak menjamin, karna ilmiah itu berasal dari kata ilmu yang berarti pengetahuan yang di dasari metode ilmiah, di dalam melakukan metode ilmiah ada cara yang bisa kita lakukan secara kuantitatif dan kualitatif, bisa dilkukan dengan dimulai dari teori-teori dan metode yang terkonsep tetap sejak awal, bisa saja teori itu hadir belakangan, justru teori itu di temukan, jadi ketika sebuah kritik sastra tidak mencantumkan teori, bukan berarti kritik sastra itu tidak bersifat ilmiah, contohnya saat sebuah kritik sastra tertera di media masa yang tidak mencantumkan teori, belum tentu tidak ilmiah atau tidak mengandung teori, jika di cermati, di dalam kritik sastra itu terdapat teori yang telah bercampur dengan wawasan penulisnya hingga kebulatan karya sastra yang di kritik itu lebih terungkap. Ketika sebuah kritik sastra bersifat ilmiah dengan catatan keilmiahan yang telah di uraikan di atas maka kritik sastra itu, siapapun yang menulisnya, dimanapun medianya, adalah akademik. Dengan cara ini, kritik sastra akademik menjadi hidup serta optimal, karena para akademik kritik sastralah yang bertanggung jawab menjaga keilmiahan sebuah kritik sastra dimanapun dia berada, hingga kontribusi para akademik ini harus ditingkatkan, jika masalahnya adalah ketidakmampuan mempublikasikan kritik sastra secara luas, maka perlu adanya kerjasama dari semua pihak baik itu institusi sastra, pemerintah, maupun non pemerintah. Pertama dari pihak instisusi sastra berupa kurikulum mata kuliah yang sebaiknya tidak hanya berbicara tentang teori dan pengaplikasiaannya, tetapi juga harus di arahkan supaya mahasiswa itu mampu mensosialisasikan kritik-kritik akademik ke dalam media yang lebih luas. Yang kedua dari pihak pemerintah ataupun non pemerintah harus melalukan upaya kongkrit berupa workshop penulisan kritik sastra untuk media masa, itu lebih jelas menunjang di bandingkan dengan acara-acara seminar yang membahas kritik sastra tanpa ada upaya kongkrit untuk mengembangkannya, sebaiknya ketika seminar itu di hentikan dan masalah-masalahnya sudah jelas, langsung mengadakan pelatihan dan upaya untuk membangkitkan kegairahan para mahasiswa untuk menyusun skripsi.
Selasa, 10-Juni-2008 - oleh : Nensi Suherman
Dibaca 2673 kali
Menurut Andre Harjana kata kritik baru di gunakan pada saat Hb Yasin meluncurkan bukunya kesastraan indonesia dalam kritik dan essei, disitu kata kritik mulai kokoh di gunakan dan pengertiannya pun mulai kokoh, tetapi bagaimana dengan perkembangannya, apakah dengan kokohnya pengertian dan istilah kritik itu kemudian perkembangan kritik sastra itu menjadi kokoh kalau kita baca tulisan-tulisan di media masa, makalah, keluhan-keluhan yang muncul di seminar-seminar, simposium dan sebagainya, kita masih melihat bahwa perkembangan kritik sastra indonesia itu memprihatinkan, karna derasnya karya sastra yang ada tidak disertai dengan kritik sastra yang memadai, indikasi dari ketidakmemadai ini yaitu pertama kritikus, sastra secara kuantitas terhitung mimin, yang kedua para kritikus yang menulis kritik sastra itu tidak mendalami bidangnya secara sungguh-sungguh, ketiga dilihat dari isi kritik sastra yang kurang ilmiah, lontaran-lontaran berupa kritik sastra yang objektif, intuitis, pesan-pesan, lebih banyak menceritakan isi karya sastra tanpa ulasan-ulasan yang harusnya menjadi faktor utama.
Ketika masalah kritik sastra ini muncul sebetulnya yang diharapkan adalah peran akademik sastra tetapi ternyata sampai saat ini banyak keluhan bahwa akademik sastra tidak berperan dalam perkembangan kritik sastra, betulkah peran akademik sastra sudah mati? Kritik sastra akademik adalah kritik sastra yang di tulis dengan pola-pola tertentu biasanya mengacu pada tehnik penulisan ilmiah kemudian dasarkan diri pada teori dan metode yang harus di pertanggung jawabkan, contohnya adalah puisi, tesis, makalah, artikel jurnal dan sebagainya.
Kritik sastra akademik sering di konfrontasikan dengan kritik sastra non akademik atau biasa di sebut juga kritik sastra umum yang bersifat sebaliknya atau tidak didasarkan kepada rambu-rambu penulisan yang di tehnik penulisan ilmiah, kemudian teori dan metodenya bersifat intuisif, bentuk-bentuknya seperti artikel, resensi dan lain sebagainya, dasar penulisnya biasanya bukan dari kalangan akademesi, meskipun banyak kalangan akademisi yang menulis kritik sastra jenis ini, jika di lihat ternyata akademik kritik sastra itu belum pasti yang artinya akademik kritik sastra itu masih banyak di tulis, di berbagai perguruan tinggi di Indonesia banyak skripsi yang bermunculan tiap tahunnya, masalahnya dari sekian banyak kritik sastra yang di tulis banyak pihak menyatakan kritik sastra akademik mandul, mati dan tidak berperan, hingga memunculkan persoalan mengenai peran sastra akademik tersebut. Jika dilihat persoalannya bukan berasal dari banyak atau sedikitnya karnya sastra di tulis, tetapi kritik sastra akademik itu kurang terasakan di masyarakat luas, karna yang pertama kritik sastra akademik itu di tulis sebagai bahan formalitas, ketika itu di tulis sebagai formalitas, kesungguhan di dalam penulisan untuk melakukan suatu penemuan yang berguna bagi perkembangan sastra berkurang, hingga kontribusinya ikut berkurang. Ke dua kritik sastra akademik terlalu mengedepankan format, menganggap materi sebagai harga mati, hingga pengunggkapan terhadap kebulatan karya sastra itu berkurang. Ke tiga dalam penyajiannya mengggunakan bahasa baku atau ragam bahasa ilmiah, sehingga kritik sastra itu menjadi kaku, tertutup hingga sulit di terima masyarakat. Ke empat kritik sastra akademik cenderung berada di lingkarannya saja, artinya kurang terpublikasikan secara luas hingga kontribusinya menjadi kurang.
Jika kita melihat sejarah sastra, kita bisa menemukan bahwa kontribusi paling besar dari kritik sastra yang muncul berasal dari media masa, mungkin ada semacam keengganan dari kalangan akademisi untuk membuat kritik-kritik di media masa, atau juga berasal dari ketidak mampuan, sehingga muncul dua penyebab yaitu ketidakmauan dan ketidakmampuan, pertama jika terjadi karena keengganan di sebabkan munculnya anggapan bahwa kritik sastra yang ada di media masa itu tidak ilmiah sementara kritik sastra akademik itu ilmiah, kritik sastra akademik itu formatnya harus di susun dengan aturan yang berlaku dalam penulisan kritik sastra di akademik, keilmiahan sebuah kritik sastra itu tidak tergantung pada format tetapi pada hakikat, selama ini yang di lihat ilmiah adalah jika format penulisannya sudah mengacu pada tehnik penulisan ilmiah, dan jika didasarkan pada teori dan metode tertentu. Padahal semua itu tidak menjamin, karna ilmiah itu berasal dari kata ilmu yang berarti pengetahuan yang di dasari metode ilmiah, di dalam melakukan metode ilmiah ada cara yang bisa kita lakukan secara kuantitatif dan kualitatif, bisa dilkukan dengan dimulai dari teori-teori dan metode yang terkonsep tetap sejak awal, bisa saja teori itu hadir belakangan, justru teori itu di temukan, jadi ketika sebuah kritik sastra tidak mencantumkan teori, bukan berarti kritik sastra itu tidak bersifat ilmiah, contohnya saat sebuah kritik sastra tertera di media masa yang tidak mencantumkan teori, belum tentu tidak ilmiah atau tidak mengandung teori, jika di cermati, di dalam kritik sastra itu terdapat teori yang telah bercampur dengan wawasan penulisnya hingga kebulatan karya sastra yang di kritik itu lebih terungkap. Ketika sebuah kritik sastra bersifat ilmiah dengan catatan keilmiahan yang telah di uraikan di atas maka kritik sastra itu, siapapun yang menulisnya, dimanapun medianya, adalah akademik. Dengan cara ini, kritik sastra akademik menjadi hidup serta optimal, karena para akademik kritik sastralah yang bertanggung jawab menjaga keilmiahan sebuah kritik sastra dimanapun dia berada, hingga kontribusi para akademik ini harus ditingkatkan, jika masalahnya adalah ketidakmampuan mempublikasikan kritik sastra secara luas, maka perlu adanya kerjasama dari semua pihak baik itu institusi sastra, pemerintah, maupun non pemerintah. Pertama dari pihak instisusi sastra berupa kurikulum mata kuliah yang sebaiknya tidak hanya berbicara tentang teori dan pengaplikasiaannya, tetapi juga harus di arahkan supaya mahasiswa itu mampu mensosialisasikan kritik-kritik akademik ke dalam media yang lebih luas. Yang kedua dari pihak pemerintah ataupun non pemerintah harus melalukan upaya kongkrit berupa workshop penulisan kritik sastra untuk media masa, itu lebih jelas menunjang di bandingkan dengan acara-acara seminar yang membahas kritik sastra tanpa ada upaya kongkrit untuk mengembangkannya, sebaiknya ketika seminar itu di hentikan dan masalah-masalahnya sudah jelas, langsung mengadakan pelatihan dan upaya untuk membangkitkan kegairahan para mahasiswa untuk menyusun skripsi.